pustaka

Senin, 30 April 2012

Wawasan dan konsep pengembangan Sumber Daya Air yang berkelanjutan:

Wawasan dan konsep pengembangan Sumber Daya Air yang berkelanjutan:  Permasalahan PSDA  Solusi Pemecahan
PERMASALAHAN PSDA
1. Ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan dalam perspektif ruang dan waktu. Indonesia yang terletak di daerah tropis merupakan negara kelima terbesar di dunia dalam hal ketersediaan air. Namun, secara alamiah Indonesia menghadapi kendala dalam memenuhi kebutuhan air karena distribusi yang tidak merata baik secara spasial maupun waktu, sehingga air yang dapat disediakan tidak selalu sesuai dengan kebutuhan, baik dalam perspektif jumlah maupun mutu. 2. Meningkatnya ancaman terhadap keberlanjutan daya dukung sumber daya air, baik air permukaan maupun air tanah. Kerusakan lingkungan yang semakin luas akibat kerusakan hutan secara signifikan telah menyebabkan penurunan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam menahan dan menyimpan air. Hal yang memprihatinkan adalah indikasi terjadinya proses percepatan laju kerusakan daerah tangkapan air. Kelangkaan air yang terjadi cenderung mendorong pola penggunaan sumber air yang tidak bijaksana, antara lain pola eksploitasi air tanah secara berlebihan sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan permukaan dan kualitas air tanah, intrusi air laut, dan penurunan permukaan tanah 3. Menurunnya kemampuan penyediaan air. Berkembangnya daerah permukiman dan industri telah menurunkan area resapan air dan mengancam kapasitas lingkungan dalam menyediakan air. Pada sisi lain, kapasitas infrastruktur penampung air seperti waduk dan bendungan makin menurun sebagai akibat meningkatnya sedimentasi, sehingga menurunkan keandalan penyediaan air untuk irigasi maupun air baku. Kondisi ini diperparah dengan kualitas operasi dan pemeliharaan yang rendah sehingga tingkat layanan prasarana sumber daya air menurun semakin tajam. 4. Meningkatnya potensi konflik air. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kualitas kehidupan masyarakat, jumlah kebutuhan air baku bagi rumah tangga, permukiman, pertanian maupun industri juga semakin meningkat. Pada tahun 2003, secara nasional kebutuhan air mencapai 112,3 miliar meter-kubik dan diperkirakan pada tahun 2009 kebutuhan air akan mencapai 117,7 miliar meter-kubik. Kebutuhan air yang semakin meningkat pada satu sisi dan ketersediaan yang semakin terbatas pada sisi yang lain, secara pasti akan memperparah tingkat kelangkaan air. 5. Kurang optimalnya tingkat layanan jaringan irigasi. Jaringan irigasi terbangun di Indonesia berpotensi melayani 6,77 juta hektar sawah. Dari jaringan irigasi yang telah dibangun tersebut diperkirakan sekitar 1,67 juta hektar, atau hampir 25 persen, masih belum atau tidak berfungsi. Untuk jaringan irigasi rawa, hanya sekitar 0,8 juta hektar (44 persen) yang berfungsi dari 1,80 juta hektar yang telah dibangun. Selain penurunan keandalan layanan jaringan irigasi, luas sawah produktif beririgasi juga makin menurun karena alih fungsi lahan menjadi non-pertanian terutama untuk perumahan 6. Makin meluasnya abrasi pantai. Perubahan lingkungan dan abrasi pantai mengancam keberadaan lahan produktif dan wilayah pariwisata. Selain itu, abrasi pantai pada beberapa daerah perbatasan dapat menyebabkan bergesernya garis perbatasan dengan negara lain. Dengan demikian di wilayah-wilayah tersebut, pengamanan garis pantai mempunyai peran strategis dalam menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia 7. Lemahnya koordinasi, kelembagaan, dan ketatalaksanaan. Perubahan paradigma pembangunan sejalan dengan semangat reformasi memerlukan beberapa langkah penyesuaian tata kepemerintahan, peran masyarakat, peran BUMN/BUMD, dan peran swasta dalam pengelolaan infrastruktur sumber daya air. Penguatan peran masyarakat, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, dan swasta diperlukan dalam rangka memperluas dan memperkokoh basis sumber daya. Meskipun prinsip-prinsip dasar mengenai hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, namun masih diperlukan upaya tindak lanjut untuk menerbitkan beberapa produk peraturan perundangan turunan dari undang-undang tersebut sebagai acuan operasional. Pada aspek institusi, lemahnya koordinasi antarinstansi dan antardaerah otonom telah menimbulkan pola pengelolaan sumber daya air yang tidak efisien, bahkan tidak jarang saling berbenturan. Pada sisi lain, kesadaran dan partisipasi masyarakat, sebagai salah satu prasyarat terjaminnya keberlanjutan pola pengelolaan sumber daya air, masih belum mencapai tingkat yang diharapkan karena masih terbatasnya kesempatan dan kemampuan. 8. Rendahnya kualitas pengelolaan data dan sistem informasi. Pengelolaan sumber daya air belum didukung oleh basis data dan sistem informasi yang memadai. Kualitas data dan informasi yang dimliki belum memenuhi standar yang ditetapkan dan tersedia pada saat diperlukan. Berbagai instansi mengumpulkan serta mengelola data dan informasi tentang sumber daya air, namun pertukaran data dan informasi antar instansi masih banyak mengalami hambatan. Masalah lain yang dihadapi adalah sikap kurang perhatian dan penghargaan akan pentingnya data dan informasi. MENGATASI PERMASALHAN PSDA 1. Pengelolaan SDA harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu, sedangkan pelaksanaannya perlu didukung oleh sistem kelembagaan yang kuat dan bertanggung jawab. 2. Semua pihak yang terkait perlu mengambil peran secara konsisten dalam keseluruhan proses pengelolaan SDA. 3. Pengelolaan SDA yang optimal, efektif, dan berkelanjutan memerlukan dukungan program sosialisasi dan kampanye yg konsisten dan menerus. 4. Mempertegas batas tanggung jawab pengelolaan SDA antara Pusat dan Daerah. UU No.7 Tahun 2004 telah mengamanatkan bahwa wewenang dan tanggung jawab pemerintah dalam pengelolaan SDA didasarkan pada letak wilayah sungai (WS). 5. Membangun sistem koordinasi pengelolaan SDA. Pengelolaan SDA mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat SDA. Untuk mewujudkan keterpaduan tindak tersebut perlu dibangun mekanisme koordinasi untuk mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah, dan para pemilik kepentingan dalam bidang SDA. 6. Menyiapkan acuan bagi pelaksanaan program dan kegiatan pengelolaan. Pengelolaan SDA membutuhkan keterlibatan semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat. Agar masing-masing pihak dapat berperan secara kolaboratif sesuai dengan tugas dan fungsinya sehingga dapat terbangun sinergi untuk mencapai hasil yang optimal, diperlukan SATU dokumen yang diharapkan menjadi pemandu atau pengarah dalam penyusunan program dan kegiatan antar sektor dan antar wilayah administrasi. 7. Membangun jejaring sistem informasi SDA. Informasi merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam penyelenggaraan pengelolaan SDA. Tanpa informasi yang benar dan akurat, maka penyusunan rencana pengelolaan SDA akan menjadi tidak efisien dan cenderung tidak tepat sasaran. Untuk mendukung pengelolaan SDA, UU No.7 Tahun 2004 mengamanatkan kepada Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pengelolaan sistem informasi SDA sesuai dengan kewenangannya. Sistem informasi SDA ini meliputi informasi mengenai (i) kondisi hidrologis, (ii) hidrometeorologis, (iii) hidrogeologis, (iv) kebijakan SDA, (v) prasarana SDA, (vi) teknologi SDA, (vii) lingkungan SDA dan sekitarnya, serta (viii) kegiatan sosial ekonomi budaya masyarakat yang terkait dengan SDA. 8. Memperkuat kelembagaan pengelolaan SDA. Kelembagaan pengelolaan SDA baik di Pusat dan di daerah termasuk di tingkat WS perlu ditata dan diperkuat menuju terciptanya pemisahan fungsi pengaturan, pelaksanaan, pengoperasian dan pemeliharaan, pemanfaatan, dan koordinasi dengan tetap menjaga sinergi antarfungsi dengan tetap mengedepankan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. 9. Membangun sistem pembiayaan untuk kelangsungan pengelolaan SDA. Kelangsungan pengelolaan SDA membutuhkan dukungan pendanaan yang konsisten dan menerus. UU No.7 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa sumber pembiayaan pengelolaan SDA dapat berasal dari: (i) anggaran pemerintah; (ii) anggaran swasta; dan (iii) hasil penerimaan Biaya Jasa Pengelolaan SDA. 10. Penyusunan program dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan SDA. Penyusunan program dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan SDA perlu dilakukan oleh setiap sektor atau daerah. Penyusunan program dan pelaksanaan kegiatan ini harus mengacu kepada Rencana (Induk) Pengelolaan SDA. Apabila Rencana Pengelolaan SDA tersebut belum tersedia, maka program dan rencana kegiatan pengelolaan SDA pada suatu wilayah sungai untuk sementara waktu dapat disusun oleh masing-masing instansi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar